INGATAN YANG DIABAIKAN: ISLAM, KEKERASAN, DAN NASIONALISME
Description:... Lahirnya sebuah karya, apa pun itu bentuknya, sering kali memiliki konteks tertentu yang melatarbelakanginya. Maksud konteks ini bisa peristiwa, kondisi politik, ataupun perubahan sosial-ekonomi, baik secara makro atau mikro yang dilihat, diamati, dibaca, ataupun justru dialami oleh penulis atau pembuatnya. Karena itu, saya percaya sebuah kalimat bahwa sebuah karya tidak akan pernah lahir dari ruang kosong, melainkan ada latar belakang momentum yang membuat orang tergerak untuk mengekspresikannya ke dalam pelbagai bentuk representasi, seperti film, puisi, novel, ataupun karya akademik. Kumpulan tulisan yang dijadikan buku ini merupakan bentuk observasi, respons, refleksi, sekaligus gugatan saya atas bermacam momentum tersebut yang terjadi dalam kurun tahun 2010-2019, baik sebelum ataupun saat menjadi peneliti di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PMB-BRIN). Berlimpahnya informasi di era digital –dan di satu sisi adanya keterbatasan ingatan– dalam menyikapi
berbagai isu, saya tergerak untuk membatasi diri kepada subjek pembahasan yang menjadi studi dan minat saya, yakni kajian budaya (cultural studies). Namun harus diakui, ada banyak momentum yang saya lewatkan dan berhenti menjadi sekadar gerundelan yang berakhir di status facebook di tengah kesibukan saya mengerjakan hal yang lain.
Buku Ingatan yang Diabaikan: Islam, Kekerasan, dan Nasionalisme ini saya maksudkan untuk dua hal. Pertama, dokumentasi pribadi. Selain memudahkan untuk meng-hubungkan gagasan apa saja yang pernah saya tuliskan, melakukan dokumentasi dengan menerbitkannya menjadi buku ini adalah sebagai bentuk upaya mengingat agar saya tidak mengulangi pembahasan yang serupa di kemudian hari. Kedua, riset lanjutan. Berprofesi sebagai peneliti dengan hanya memfokuskan kepada dunia riset akademik menuntut saya diminta untuk lebih produktif dengan menawarkan gagasan-gagasan yang berbeda, mendalam, dan diharapkan membawa cara pandang baru untuk dimungkinkan memberikan solusi. Tentu saja, melakukan riset mendalam dengan menghasilkan karya yang layak dibaca publik bukanlah proses sebentar. Kerja-kerja itu membutuhkan tenaga dan proyeksi panjang. Tulisan-tulisan pendek ini adalah proses eksperimentasi gagasan dan pijakan saya untuk melakukan riset lanjutan yang lebih mendalam. Riset ini tentu bukan hanya saya yang bisa melakukan, melainkan diharapkan menjadi inspirasi bagi pembaca yang memiliki minat di bidang serupa.
Secara garis besar buku ini berisi mengenai tiga hal dengan menjadikan perspektif politik ingatan sebagai bingkai yang menjahit keseluruhan tulisan. Pertama, Islam, Masa Lalu, dan Kekerasan. Di sini saya tidak menempatkan Islam sebagai studi teologi, melainkan lebih kepada refleksi sosiologi dan antropologi atas apa yang terjadi di masyarakat dengan menempatkan Indonesia sebagai studi kasus dan membandingkan kasus yang serupa di negara Asia lainnya. Dalam bagian ini, misalnya, bagaimana ingatan mengenai peristiwa 1965 bagi anak-anak muda, dua peristiwa pembantaian massal kepada kelompok Muslim (Tanjung Priok dan Talang Sari) saya tunjukkan untuk melihat kekerasan negara dan masyarakat serta bagaimana proses pengabaian itu terjadi. Tidak luput, saya membahas agensi Islam yang dimunculkan oleh tokoh Islam seperti Gusdur dan Amien Rais. Selain itu, bagaimana tokoh-tokoh elit politik memunculkan wajah ganda dalam publik nasional dan internasional mengenai Islam dengan adanya rencana pembakaran Al-Qur’an yang direpresentasikan oleh sekelompok komunitas di Amerika Serikat dan pembakaran Al-Qur’an yang terjadi di Bogor.
Kedua, Politik dan Kewarganegaraan. Bagi saya, dua hal tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dalam konteks Indonesia. Dalam pembahasan ini, saya tidak hanya menempatkan studi politik mengenai partai, elit, dan struktur oligarki, sebagaimana sering dibahas oleh para sarjana, baik Indonesia maupun luar negeri, melainkan juga bagian dari aktivitas kehidupan sehari-hari orang biasa. Misalnya, pemberian gelar pahlawan, persoalan etno-nasionalisme, daya tahan strategi ekonomi Pecel Lele orang-orang Lamongan, macho-isme dalam dunia sepak bola, serta bagaimana kekerasan itu terjadi dalam keseharian masyarakat melalui terorisme dan upaya normalisasi kejahatan.
Ketiga, Imaji dan Nasionalisme. Selain membahas mengenai asal-usul nasionalisme, saya menarasikan menge-nai tokoh-tokoh yang menguatkan imajinasi keindonesiaan dengan mengajukan dua nama yang selama ini selalu mendapatkan porsi sedikit dalam perbincangan mengenai pembentukan keindonesiaan, kelompok Tionghoa dan Joesoef Ishak. Selain itu, saya mengisahkan tentang sosok Indonesianis Benedict Anderson, yang karya-karyanya selalu menjadi rujukan mengenai studi Indonesia, dan di sisi lain, menjelaskan secara ironis bagaimana birokrasi pengetahuan dalam dunia akademik kita telah mengebiri para sarjana Indonesia untuk berkiprah dalam level akademik internasional. Sebagai perbandingan, saya mendiskusikan bagaimana trauma dan kekerasan yang membentuk wajah Filipina dengan mengajukan tokoh-tokoh politik seperti Benigno Nonoy Aquino III, Rodrigo Duterte, dan Bongbong Marcos sebagai pembahasan, dengan melihat peristiwa 1965-1966 sebagai analisis pembuka yang mengubah lanskap sosial dan politik Indonesia saat ini.
Show description