KITA harus meloloskan diri! Tidak mungkin lagi kita menghadapi mereka!” bisik Ki Buyut begitu Dewi Siluman telah tegak di sampingnya.
“Tapi….”
“Dewi! Jangan mencari urusan! Jiwa kita ada di ujung tanduk!” ujar Ki Buyut memperingatkan tatkala dilihatnya Dewi Siluman sepertinya masih enggan meninggalkan pulau.
“Kau cepat ke arah kereta! Aku menunggu di pinggir pulau!” sambung Ki Buyut, lalu hendak berkelebat. Dewi Siluman sendiri tampak hendak putar tubuh dan berkelebat ke arah kereta.
Namun belum ada yang sempat berkelebat, Ratu Malam yang masih duduk di atas gugusan balu padas berteriak.
“Meski datang tidak diundang, seharusnya pulang dengan pamit! Lebih dari itu, tak enak rasanya punya tamu yang masih belum dikenal wajahnya….”
Dewi Siluman tersentak. Ucapan Ratu Malam jelas menghendaki dirinya buka cadar yang selalu menutupi wajahnya. Dewi Siluman tampak bergetar, sepasang matanya membelalak.
“Aku tak akan turuti kata-katanya!” desis Dewi Siluman. Ki Buyut Pagar Alam sendiri terlihat tertegun dengan mulut terkancing.
“Betul! Meski mataku tidak bisa melihat, setidaknya aku bisa mendengar cerita tentang wajah yang katanya selaju ditutup cadar hitam! Siapa tahu dugaanku salah!” sahut Gendeng Panuntun timpal ucapan Ratu Malam sambil bergerak bangkit karena Pendekar 131 telah berada d! dekatnya dan hendak sandarkan tubuh Sitoresmi pada batu padas yang tadi disandari Gendeng Panuntun.
“Aku tidak sudi turuti ucapan kalian!” teriak Dewi Siluman.
“Jika begitu, aku akan minta lebih dari yang diminta tadi! Bukan hanya minta kau buka penutup cadarmu, tapi juga minta kau buka….” Iblis Ompong yang menyahut tidak lanjutkan ucapannya. Sebaliknya tertawa bergelak-gelak.
“Walah. Kau selalu membuat dadaku jadi berdebar-debar dan jakun turun naik! Tapi cerita-cerita begitu memang lebih sedap didengar! Ha… ha… ha…!” Gendeng Panuntun ikut-ikutan tertawa.
“Dewi…,” gumam Ki Buyut. “Untuk sementara ini kita mengalah saja. Turuti apa yang mereka minta, ini demi keselamatan kita! Kita masih punya waktu untuk memperhitungkan pembalasan!”
“Aku tidak mau! Kalau kau takut mati, silakan pergi dahulu!” sahut Dewi Siluman dengan menatap tajam pada Ki Buyut.
Ki Buyut gelengkan kepala. “Percuma kau berkeras kepala! Kau telah terluka. Membunuhmu, bagi mereka semudah membalik telapak tangan!”
Dewi Siluman terdiam mendengar ucapan Ki Buyut. “Kau tak perlu khawatir. Aku duga, mereka sebenarnya telah mengetahui siapa kau sebenarnya. Kalau mereka ingin kau membuka cadarmu, mungkin hanya untuk meyakinkan! Jadi tak ada gunanya lagi bersikap keras kepala!”
Di depan sana, Ratu Malam tiba-tiba mendongak. “Hari sudah hampir malam. Jika keadaan gelap, dan aku tak dapat mengenali wajah di balik cadar, mungkin aku juga minta tambahan!”
“Dewi…. Cepat buka cadarmu! Ucapan orang-orang seperti mereka setiap saat bisa berubah!” ujar Ki Buyut Pagar Alam.
Dewi Siluman berpaling pada Ratu Malam. “Baik. Kalian lihat yang jelas!”
Habis berkata begitu, Dewi Siluman angkat tangan kanannya.
Breettt!
Kain hitam penutup wajah Dewi Siluman terenggut lepas. Kini tampaklah seraut wajah cantik jelita dengan mata bulat dan bulu mata panjang lentik. Bibirnya bagus dan merah. Hidungnya mancung dengan kulit putih agak kekuningan.
“Durga Ratih…!” gumam Ratu Malam hampir berbarengan dengan Iblis Ompong. Sementara Dewa Sukma hanya terdiam dengan sepasang mata memandang tak berkesip. Di sampingnya Dewi Es buka kelopak matanya sejenak, namun kejap lain telah memejam kembali.
Untuk beberapa lama suasana hening. Hanya tampak beberapa pasang mata saling pandang lalu bersama-sama terarah pada Dewi Siluman.
Dewi Siluman menyeringai. Lalu tangan kanannya terangkat kembali hendak memasang kain cadarnya Namun gerakan tangan sang Dewi tertahan tatkala tiba-tiba Dewa Sukma meloncat ke depan dan seolah hendak menghadang kelebatan KI Buyut dan Dewi Siluman. Sepasang matanya mengawasi Dewi Siluman tajam.
Dewi Siluman dan Ki Buyut terkesiap kaget. “Apa maumu?! Aku telah turuti yang kalian minta. Jangan tarik ucapan sendiri!” teriak Dewi Siluman sambil balas menatap pada Dewa Sukma.
“Yang berkata tadi Iblis Ompong dan Ratu Malam! Aku belum mengatakan apa yang kuminta!” jawab Dewa Sukma.
“Hem…. Nyatanya kalian orang-orang yang tidak bisa pegang janji!”
“Durga Ratih! Aku belum ucapkan janji!” ujar Dewa Sukma, membuat Durga Ratih alias Dewi Siluman menyeringai meski air mukanya tampak membayangkan rasa takut. Perempuan cantik ini berpaling pada Ki Buyut Pagar Alam. Ki Buyut tampak kernyitkan dahi namun belum juga buka mulut.
Saat itulah tiba-tiba terdengar suara tergelak berat. Bukan hanya membuat Pulau Biru bergetar, namun sebagian pasir di pulau itu tersapu dan membumbung ke udara. Kejap lain di sela-sela taburan pasir tampak sebuah benda melayang lalu jatuh menancap di tengah-tengah pulau!
Ki Buyut dan Dewi Siluman serentak palingkan kepala masing-masing. Dewa Sukma menoleh dan terbelalak. Di seberang, Ratu Malam pentangkan sepasang matanya yang sipit dengan mulut komat-kamit, Iblis Ompong tengadah dengan mulut dibuka lebar-lebar. Dewi Es buka kelopak matanya lalu memandang tak berkesip. Pendekar 131 yang kini telah tegak di samping Gendeng Panuntun kerutkan dahi dan ikut-ikutan belalakkan sepasang matanya.
Bersamaan dengan tertancapnya benda di tengah pulau, tiba-tiba laksana disentakkan setan, suara tawa berat yang sempat membuat pulau bergetar dan pasir bertaburan lenyap! Gendeng Panuntun mendongak.
“Ada benda menancap, aku mencium amisnya darah! Heran…. Kenapa orang-orang mendadak seperti patung tak ada yang mengoceh?”
“Kek…,” sahut murid Pendeta Sinting yang berada di sampingnya. “Di tengah pulau memang menancap sebuah tombak terbalik. Ujung di atas pangkai masuk ke dalam pasir. Di ujung tombak terlihat tiga buah tengkorak tersusun berlumuran darah segar!”
Gendeng Panuntun tersurut satu tindak saking terkejutnya. Kepalanya diluruskan. Sesaat kemudian dia bergumam.
“Hampir mustahil! Dunia persilatan tampaknya belum bisa tenang. Bencana lebih besar akan datang lagi….”
“Kek. Apa sebenarnya ini?!” tanya Joko dengan mata pandangi ke arah tengah pulau.
“Pintu istana Hantu telah terbuka! Malapetaka akan terjadi!”
“Kek. Aku tak mengerti maksud ucapanmu!”
“Kelak kau akan mengerti sendiri…. Dan aku punya dugaan, kaulah kelak yang harus menghadapinya!”
Di sebelah depan, Dewi Siluman dan Ki Buyut mundur dua tindak. Tanpa bicara lagi, Ki Buyut Pagar Alam segera menarik tangan Dewi Siluman. Keduanya lalu berkelebat menuju kereta. Kejap lain kereta itu telah bergerak ke arah pinggir pulau. Hebatnya meski roda kereta dan kaki ladam kuda menghentak tanah berpasir serta gugusan batu padas, tapi tidak ada suara yang terdengar!
Melihat Dewi Siluman dan Ki Buyut hendak meloloskan diri, sementara beberapa orang di situ sepertinya sepertinya terpaku pada tombak yang menancap di tengah pulau, murid Pendeta Sinting berkelebat mengejar.
Namun gerakannya tertahan tatkala tangan kanan Gendeng Panuntun mencekalnya. “Biarkan mereka pergi….” “Tapi, Kek. Orang seperti mereka akan menjadi duri di kemudian hari!”
“Kau tidak tahu siapa perempuan itu!”
“Peduli apa dengan dia?!”
Gendeng Panuntun gelengkan kepala.
“Dengar, Anak muda! Mendiang guruku pernah mempunyai seorang murid perempuan. Karena dia ugal-ugalan dan selalu melanggar perintah, pada akhirnya dia diketahui hamil. Dia lantas diusir. Di kemudian hari dia melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Durga Ratih. Jadi bagaimanapun juga, Durga Ratih masih saudaraku….”
Murid Pendeta Sinting tercenung dan akhirnya hanya bisa memandang pada kereta yang terus bergerak. Sampai ke pinggir pulau, dengan hanya sentakkan kedua tangannya, tali pengikat pada leher kuda terputus. Dan sekali tendangkan kaki, kuda itu meringkih lalu menghambur bebas. Kini kereta itu meluncur tanpa kuda dan begitu mulai menginjak air, Ki Buyut membungkuk.
Trakkk! Trakk!
Dua kayu penyangga kereta bagian depan patah. Dengan menggunakan patahan penyangga kereta, Ki Buyut tusukkan ke dalam air laut. Gerobak kereta itu akhirnya meluncur deras di atas permukaan air laut. Dewi Siluman tampak tegak di atas peti putih di bagian belakang gerobak kereta dengan kedua tangan bersedekap di depan dada dan menghadap ke belakang!
“Jangan terpaku pada apa yang terlihat! Masih ada yang harus dikerjakan!” Tiba-tiba Gendeng Panuntun berseru. Lalu melangkah pada batu padas di mana Sitoresmi bersandar.
Dewa Sukma balikkan tubuh, lalu melangkah ke arah Gendeng Panuntun. Iblis Ompong segera pula mendekat. Dewi Es bergerak bangkit dan melangkah ke arah tubuh Dewi Seribu Bunga yang tergeletak pingsan.
Gendeng Panuntun jongkok di samping tubuh Sitoresmi. Kedua tangannya sejenak meraba tangan si gadis. Lalu kepalanya manggut-manggut. Kejap kemudian dia keluarkan dua butiran hitam dari balik pakaian hijaunya yang gombrong. Butiran Itu diserahkan pada Iblis Ompong. Iblis Ompong menyambuti lalu sambil jongkok, kedua butiran itu dimasukkan ke dalam mulut Sitoresmi.
“Kukira urusan di sini telah selesai! Kita pulang…,” kata Dewa Sukma sambil berpaling pada Dewi Es yang kini telah tegak sambil membopong tubuh Dewi Seribu Bunga.
“Biar gadis ini kuurus…,” ujar Dewi Es lalu melangkah mendahului ke pinggir pulau.
Joko bungkukkan tubuh hendak membopong Sitoresmi yang kini matanya terpejam dan tampak lemas. Namun buru-buru Gendeng Panuntun lantangkan tangan kirinya, membuat gerakan murid Pendeta Sinting tertahan.
“Gadis ini urusanku!” ucap Gendeng Panuntun lalu sekali sambar tubuh Sitoresmi telah berada di pundaknya. “Tuntun aku ke pinggir pulau!”
Akhirnya rombongan itu melangkah ke pinggir pulau. Tapi sesampainya di pinggir pulau, mereka tampak kebingungan. Karena tidak ada satu pun perahu terlihat.
“Tidak mungkin sekarang naik es lagi! Kita harus cari tumpangan yang layak!” ujar Gendeng Panuntun setelah mengetahui di situ tidak ada perahu dan Dewa Sukma mengusulkan agar Dewi Es membuat tumpangan es seperti tatkala mereka menuju Pulau Biru.
Ketika orang-orang sama bingung, tiba-tiba Joko berteriak.
“Lihat! Ada perahu menuju kemari!”