Keprihatinan terhadap kondisi pendidikan kewarganegaraan
semasa Orde Baru telah melahirkan sejumlah inisiatif untuk melakukan
pembaharuan. Seiring proses reformasi, muncul gagasan
pendidikan kewarganegaraan paradigma baru sebagai pendidikan
demokrasi (Wina taputra, 2012: 83). Pembelajaran paradigma baru
memastikan praktik pembelajaran yang berpusat pada peserta
didik, yang mana setiap peserta belajar sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya. Sejalan dengan paradigma tersebut,
Pendidikan Kewarganegaraan yang hingga sekarang masih berlabel
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) mempunyai
misi yang lebih khas.
Sosok Pendididikan Kewarganegaraan (Civic atau Citizenship)
yang demikian memang sering muncul di sejumlah negara,
khususnya negara-negara berkembang, sesuai dengan laporan
penelitan Cogan (1998) yang dikutip oleh Ace Suryadidan
Somardi (2000: 1) yang mengatakan, “citizenship education has often
reflected the interest of those in power in particultular society and thus
has been a matter of indoctrination and the establishment of ideological
hegmony rather than education”. Kurikulum kewarganegaraan
harus memberikan kesempatan bagi siswa untuk menerapkan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai baik dalam
dan luar sekolah. Oleh karena itu, kurikulum di sekolah harus
komprehensif dan terpadu dalam hubungan dengan komunitas,
sekolah dan masyarakat (Doganay, 2012: 37).